Buku Belajar Toleransi Dari Ibnu Taimiyah (Kautsar)
Buku Belajar Toleransi Dari Ibnu Taimiyah
Oleh: Ustadz Muhammad Ikhsan, Lc, MS.i, Penerbit Pustaka al-Kautsar
Perbedaan atau ikhtilaf di antara manusia adalah sebuah fenomena yang alamiah dan sejalan dengan fitrah penciptaan manusia itu sendiri. Allah telah menetapkan penciptaan manusia dalam wujud perbedaan pikiran dan pemahaman yang berbeda, di samping wujud perbedaan-perbedaan yang lain, seperti; perbedaan bahasa, budaya, dan juga cara pandang terhadap sesuatu. Aneka perbedaan itu tentu berkonsekuensi melahirkan keragaman pendapat dan kesimpulan. Dan bila perbedaan ras dan bahasa adalah bukti kekuasaan penciptaan Allah atas kita, maka perbedaan pandangan dan pendapat dengan segala konsekuensinya tentu juga merupakan bukti kekuasaan Allah. Setidaknya ia menjadi jalan terjadinya sinergi antar manusia dengan keragaman potensi yang mereka miliki.
Dalam kaitannya dengan fikih Islam, kekayaan khazanah ranah ini bila ditelisik lebih jauh dan mendalam sesungguhnya dibangun di atas dasar adanya ikhtilaf dan pandangan di kalangan pelakunya (baca: para fuqaha). Bagi para pelaku awal fikih Islam, ikhtilaf itu dijadikan sebagai sumber kekayaan dan dasar fleksibilitas Islam. Berkata Ibnu Taimiyah, ‘Seorang pria menulis kitab (yang menguraikan) tentang ikhtilaf para ulama. Maka Ahmad bin Hanbal mengatakan padanya, ‘jangan beri judul buku itu dengan kitab al-Ikhtilaf, tapi berikanlah ia judul kitab as-Sa’ah (kelapangan).”
Tidak hanya itu, keragaman pendapat dalam fikih Islam -setidaknya pada generasi awalnya- juga meninggalkan warisan teladan tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi ikhtilaf itu. Yaitu bahwa keragaman dan ikhtilaf itu tidak seharusnya melahirkan permusuhan dan konflik yang merusak tatanan interaksi sesama muslim secara khusus. Adz-Dzahabi (pada saat menuliskan biografi Imam asy-Syafi’i) menukilkan penuturan salah seorang murid asy-Syafi’i; yakni Yunus bin Abd al-A’la ash-Shafadi yang berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih berakal dan cendekia melebihi asy-Syafi’i . Suatu ketika saya berdiskusi dan berdebat dengannya tentang sebuah masalah. Lalu kami berpisah. Kemudian ia menemuiku, lalu meraih tanganku sembari berkata, ‘Wahai Abu Musa, tidak layakkah jika kita tetap bersaudara, meski kita harus berbeda dalam satu masalah.”’
Demikianlah yang terjadi, mereka mengamalkan hadits, “Apabila seorang hakim memutuskan, lalu hasil ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Namun, jika hasil ijtihadnya salah, maka ia akan mendapatkan satu pahala.”
Dalam perkembangan fikih Islam selanjutnya, ikhtilaf yang terjadi dalam ruang lingkupnya justru menjadi salah satu penyebab lahirnya berbagai fenomena negatif di tengah umat Islam. Salah satunya yang paling meninggalkan goresan luka sangat dalam catatan sejarah adalah fenomena fanatisme buta (at-Ta’asub al-a’ma) pada madzhab atau pandangan ulama tertentu. konflik-konflik antar pengikut madzhab menjadi fenomena yang umum terjadi kemudian.
Buku Belajar Toleransi Dari Ibnu Taimiyah, Buku cetak edisi softcover, tebal buku 243 halaman, ukuran buku 13,5 x 20,5 cm, dan dengan berat 235 gram. Penulis: Muhammad Ikhsan, Lc. M.Si, Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, harga Rp. 45.000,-