Buku Sunnah Tarkiyah (Sukses Publishing)

Penerbit: Sukses Publishing


  • 290.000,00
Ongkos kirim dihitung saat checkout


Buku Sunnah Tarkiyah

Oleh: Syaikh Dr. Yahya bin Ibrahim Khalil, Sukses Publishing

Sebagaimana diketahui as-Sunnah menurut para ulama ushul fikih meliputi ucapan, perbuatan, dan ketetapan. Sementara para ulama hadits menambahkan sifat fisik dan akhlak. Jadi, menurut para ulama hadits istilah as-Sunnah memiliki makna yang lebih luas, karena mereka memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan hadits. Sebagian ahli ushul fikih -seperti al-Baidhawi- yang mendefinisikan as-Sunnah sebagai ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak menyebut ketetapan karena sudah termasuk di dalam perbuatan. Sebab, menetapkan berarti menahan diri dari penolakan. Dan menahan diri adalah perbuatan. Sebagian ulama ushul fikih berpendapat bahwa sunnah tarkiyah adalah perbuatan. yang secara eksplisit menyatakan hal itu antara lain; Imam ath-Thahawi, Imam Ibnul Qishar al-Maliki, Imam al-Qurthubi, Imam an-Nawawi, dan Imam Ibnu an-Najjar -rahimahumullah-. Sementara sebagian ulama lainnya menganggap sunnah tarkiyah sebagai bagian dari sunnah fi’liyah, sunnah qauliyah, dan sunnah taqririyah, sebagaimana dipaparkan dalam disertasi ini. (Lihat keseluruhan pembahasannya secara sistematis dalam buku ini)

Definisi Sunnah Tarkiyah

Pengertian Sunnah Tarkiyah ditinjau dari gabungan dari kedua suku katanya ialah sebagai berikut:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan perbuatan tertentu yang tidak berhubungan dengan selera pribadinya padahal ada alasan yang menuntutnya dan tidak ada sesuatu yang menjadi penghalangnya, dan sesuatu yang tidak beliau lakukan itu tidak berhubungan dengan hak orang lain.” (pembaca dapat menyimak penjabarannya pada hal. 89-102)

Macam-Macam Sunnah Tarkiyah

Pertama, seorang sahabat menyatakan secara eksplisit bahwa Rasulullah meninggalakan ini dan itu dan tidak melakukannya. Contoh: Tidak ada adzan dan iqamat saat shalat Ied. Berkata Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, “Saya telah melaksanakan shalat Ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -tidak hanya satu atau dua kali saja- tanpa adzan dan iqamat.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan adzan padahal ada alasan untuk melakukannya -yaitu kebutuhan untuk menyampaikan pemberitahuan- dan tidak ada halangan untuk melakukannya. Maka, meninggalkan adzan (dalam shalat Ied) adalah sunnah, dan melakukan adzan padanya adalah bid’ah.

Kedua, dipahami secara implisit dari syara’ bahwa Rasulullah meninggalkan sesuatu. Maksudnya tidak ada pernyataan secara eksplisit menyatakan hal itu sebagaimana jenis yang pertama. Contoh: Adzan Jum’at dikumandangkan setelah imam duduk di mimbar. Memang terjadi perbedaan di masa Khalifah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, adzan hanya dikumandangkan sekali. Sedangkan pada masa Utsman, adzan dikumandangkan tiga kali (sebab banyaknya umat Islam). Hal tersebut menunjukkan tidak adanya shalat Qabliyah Jum’at setelah adzan. Namun, imam langsung berdiri untuk berkhutbah dan makmum diwajibkan mendengarkan khutbah.

Ketiga, para sahabat tidak meriwayatkan sesuatu yang sekiranya Rasulullah melakukannya pasti mereka akan  bersemangat untuk meriwayatkannya. Contoh: Melafalkan niat saat hendak shalat. Rasulullah tidak melakukannya, padahal tidak ada penghalang untuk melakukannya, para sahabat pun demikian.

Buku Sunnah Tarkiyah Penerbit Sukses Publishing, Buku cetak edisi hardcover, tebal buku 872 halaman, ukuran buku 19,5 x 27 cm, dan dengan berat 2000 gram. Penulis: Syaikh Dr. Yahya bin Ibrahim Khalil, Penerbit: Sukses Publishing, Harga Rp. 290.000,-


Kami Juga Merekomendasikan